Sasando, Agar Bisa Hidupi Musisi Timor
Oleh: Andri Oktavia
Sumber:
Iwan Fals
Nusantara menyimpan banyak pluralisme. Baik itu bahasa, golongan, suku bangsa, kesenian, termasuk di dalamnya alat musik tradisional. Sasando, salah satunya. Alat musik tradisional ini berasal dari Nusa Tenggara Timur, khususnya Kabupaten Roten Rao.
Awal minggu ini,
iwanfals.co.id bertemu dengan Petrus (55). Musisi Tradisional Roten Rao, yang hidup dari bermusik Sasando di Tanah Jawa. Lebih tiga bulan, dia bekerja sebagai musisi di sebuah Hotel Kawasan Puncak, Bogor, meninggalkan ketiga orang anak dan istrinya di kampung halaman.
Seorang diri dia memainkan alat musik petik ini, lengkap dengan Ti’i Tilangka (Topi Khas Timor -red) plus pakaian adat Roten, di salah satu sudut hotel, sebuah pemandangan menarik, diantara orang yang hilir mudik melintas.
Dia mengisahkan, tiga bulan yang lalu seorang kurir milik pengusaha hotel tersebut menyambanginya, di desa. Maksudnya jelas, mengajak Petrus bekerja di sebuah hotel kawasan Bogor. Lantas, seluruh perjalanannya dilakukan. Menyeberangi beberapa lautan dengan pesawat menuju Jakarta. Di Bandara, Petrus sudah dijemput oleh utusan pimpinannya, yang langsung membawanya ke kesejukan hawa Puncak, Bogor.
Di kampung halamannya, Petrus sehari-harinya berkerja sebagai petani ladang. Oleh kalangan masyarakat sekitar dia dikenal piawai memainkan alat musik Sasando. Petikannya khas, halus, cepat, dan nada yang diperdengarkannya asyik untuk disimak. Kendati bisa dimainkan kapan saja, namun menurutnya lebih asyik menyimak alunan Sasando, saat malam hari dan suasana yang sunyi. ”Mendengarkan alunan alat musik ini di keheningan malam, saat yang tepat sekali,” tambah Petrus.
Disampaikannya, Roten merupakan kawasan yang tandus. Namun, meski demikian, masyarakat Roten biasa hidup dari berladang. Hasil utama kabupaten tersebut adalah padi, bawang merah, bawang putih dan labu. Disamping itu, dari Kupang, Roten masih dipisahkan oleh laut, memakan waktu lebih tujuh jam perjalanan. Itu mengapa, karena dikelilingi oleh lautan, banyak pula masyarakatnya yang hidup sebagai nelayan.
Kendati demikian, baginya hidup di desa, tidak bisa dikatakan mudah. Bahkan mencari uang di kampung halaman dirasanya sulit. ”Disana mencari uang amat sulit,” urainya kepada
iwanfals.co.id. Oleh karena itu, dia tak menyia-nyiakan kesempatan emas, ketika ditawari bekerja memanfaatkan kemampuannya bermain Sasando ke Bogor, kendati beratus mil jaraknya dari rumah.
Sebetulnya, bekerja dari keahlian memainkan Sasando hingga merantau, bukan baru kali ini saja dilakukan. Tahun 1998 dan 2007, dia pernah pergi dari kampung halamannya, bermain Sasando di hotel dan sebuah pesta keluarga, masing-masing di Bali dan Salatiga. Namun, keduanya hanya memakan waktu sebulan.
Dia mengaku senang, tinggal di Bogor. Karena disamping berpenghasilan tetap, dia juga bisa memperkenalkan Sasando kepada masyarakat luas, alat musik yang sudah dikenalnya semenjak kecil, yang kini memberinya penghasilan Rp 1,5 juta tiap bulan.
Petrus menyampaikan, saat kecil dia memang sudah mempelajari alat musik ini. Awalnya dia sering melihat ayahnya memainkan. Sesudahnya, dia kerap membunyikan alat musik ini seorang diri, terutama ketika sedang tidak digunakan oleh ayahnya. Lama kelamaan, akhirnya dia diajari juga oleh ayahnya bagaimana memainkan alat musik ini dengan benar.
Di daerah asalnya, Sasando yang tidak bisa digunakan untuk mengiringi lagu-lagu populer ini, kerap dimainkan saat digelar upacara adat, semisal merayakan syukuran setelah panen, ulang tahun, pernikahan, pesta keluarga, dan sebagainya.
Alat musik ini tidak menyimpan legenda atau aroma mistik dalam penggunannya. Apalagi memiliki hubungan dengan hal tersebut. Alat musik ini, menurut Petrus, juga tidak memiliki tangga nada tertentu untuk memainkannya. ”Semuanya berdasar
feeling saja,” urainya.
Oleh karena itu tidak mengherankan menurutnya, di daerah asal alat musik ini banyak orang yang memainkannya, namun kurang asyik didengarkan, atau malah tidak benar nadanya, karena sepenuhnya memang disajikan berdasarkan feeling.
Beberapa lagu tradisional masyarakat Roten Rao kerap diiringi oleh alat musik ini, diantaranya Batu Matea, Teorenda, dan Ronggeng Biasa. Dalam penyajiannya biasa diiringi oleh sepasang penari wanita dan dua orang pemusik Sasando.
Alat musik ini memang tak pernah lepas dari tumpahan rasa suka cita masyarakat Roten, sesuai dengan legenda saat alat musik ini, yang diciptakan oleh dua orang pemburu Timor, ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.
Ceritanya, kedua pemburu yang merupakan leluhur atau nenek moyang masyarakat Timor yang sekarang ini, bersuka cita karena hasil buruannya cukup banyak saat itu. Ketika beristirahat di sebuah hutan, mereka mulai membuat dan memainkan alat musik, yang lantas diberi nama Sasando.
Kepada
iwanfals.co.id, dia mengaku tidak bisa memberikan makna selengkapnya mengenai arti nama Sasando. Dia mengatakan, lebih kurangnya Sasando memiliki arti, menikmati hasil dengan penuh keriangan bersama masyarakat banyak.
Saat itu, praktis menurut Petrus bagian dari alat musik Sasando adalah bagian dari tanam-tanaman. Batang petik terbuat dari bambu,
body Sasando yang berfungsi sebagai ruang resonansi, terbuat dari daun lontar. Sementra senarnya terbuat dari kulit pohon di hutan.
Mulai generasi kedua, hingga saat ini, sesuai dengan perkembangan zaman ada yang berubah. Senar Sasando yang terbuat dari kulit pohon, berganti dengan senar yang diambil dari tali rem sepeda motor. Kecuali itu, bagian lainnya tetap terjaga keasliannya.
Petrus juga mengaku kerap membuat sendiri alat musik Sasando yang dimainkannya. Membuat sasando menurutnya tidak membutuhkan waktu yang lama, kecuali daun lontar sebagai ruang resonansi, yang mesti dijemur seharian sebelum digunakan.
Memainkannya pun tidaklah terlampau sulit. Untuk memetik 11 senar yang terdapat di Sasando, Petrus membagi kerja kedua jemari tangannya. Tangan kanan menguasai enam senar, sementara lima senar yang lainnya dipetik oleh tangan kiri, tanpa melibatkan ibu jari, karena letak senar yang berada di bagian belakang batang petik.
Memainkannya mirip memainkan Harpa, butuh keaktifan delapan jari, sementara bunyi senarnya, ada yang merupakan bunyi lengking ibarat melodi, maupun suara ”berat” seperti bunyi bass. Uniknya, tidak ada patokan tangga nada dalam memainkan jenis alat musik ini. Kemerduan hasil petikan jemari bergantung dari siapa yang memetiknya. Petrus, adalah salah satu yang terbaik di Kabupaten Roten.
Kendati bertekad membesarkan dan memperkenalkan alat musik khas Timor ke seantero nusantara, dia mengaku sedih, sebab minat anak-anak muda sekarang dinilainya rendah untuk mempelajari alat musik itu. Dia juga berharap upaya dari pemerintah untuk melestarikannya, hingga bisa mengangkat nama dan nasib para musisi Timor. ”Saya ingin alat musik ini dikenal dan bisa menghidupi musisi Timor,” tandasnya.